“Jika tak ingin hilang dan lenyap begitu saja, maka berkaryalah!” —Agoy Tama
Tentu kau pernah dengar, bahwa menulis adalah bagian dari upaya mengikat ilmu. Mashyur sekali perkataan itu, bukan?
Mungkin ketika kau menyimak suatu pelajaran dari guru, atau mendengarkan tausiyah di dalam suatu majelis, kau memilih untuk menyiapkan buku catatan dan pena. Kau yakin, bahwa ilmu yang tak dituliskan, maka akan hilang di detik kesekian. Tak perlu waktu lama. Ia akan menguap, lenyap secepatnya.
Sebab, kau tahu bahwa manusia tak sehebat itu. Manusia itu berbatas, tempat salah dan lupa. Maka, dengan menulis, kau berharap ilmu itu tak mudah hilang dan terlupakan. “ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” begitu katanya.
Tetapi, ada satu pertanyaan bagimu, jika ilmu terus kau ikat saja, lalu kapan kau akan melepas-bagikannya ke sebanyak mungkin orang?
Lantas, untuk siapa kau menulis? Untuk dirimu sendiri atau kau masih memikirkan yang lain?
Sejatinya pertanyaan itu butuh jawaban. Dan setiap jawaban menentukan bagaimana kelak kau dalam berkarya. Akan ke mana ilmu yang kau dapat bermuara?
Ah, entahlah. Kau lebih tahu tentangmu dan langkah-langkah tapakan kakimu pada masa yang akan datang.
Bagiku, berkarya adalah terapi. Berkarya adalah mengekspresikan jiwa, ide/gagasan, pemikiran, dan perasaan-perasaan. Berkarya bagiku adalah respon daripada apa yang aku alami, aku saksikan, dan aku amati.
Lalu untuk siapa aku berkarya?
Tak ada alasan lain yang mampu kutuliskan di sini, melainkan hanya untuk Dzat yang telah memberiku kekuatan untuk berkarya, Dzat Yang Maha Segala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Agoy Tama, 13/02/2018